RSS

MONKASEL, KAPAL SELAM NYASAR DI TENGAH KOTA #Ngebolang ala Turis Kere-part-4

Surabaya (Kamis, 30 Juli 2015)


Monkasel darn Kali Mas nan resik
Setelah bertanya rute serta kendaraan yang harus dinaiki untuk menuju destinasi berikutnya, yaitu  Monkasel (Monumen Kapal Selam), kamipun segera menyebrangi jalan siap mencegat line (istilah untuk angkutan kota di Surabaya) warna putih dengan nomer rute 1. Tarifnya Rp 3.000,00 per orang untuk jarak dekat.

Sepanjang jalan, aku terpana menyaksikan betapa bersihnya jalanan dan sungai yang membelah kota Surabaya. Ketegasan Sang Walikota Surabaya yang terkenal senang turba terjun langsung menangani permasalahan di kotanya  itu membuatku menjadi salah seorang pengagum beliau.


Sekitar 15menit kemudian, Supir menghentikan kendaraannya di sebuah perempatan jalan dan kami dipersilakan turun. Di seberang Kali Mas nan resik, terlihat sebuah kapal selam nyasar berwarna hijau dan hitam. Di haluannya bertuliskan Pasopati dan angka 410 di bagian atasnya.

Pasopati nan gagah
Aku sengaja membawa anak-anak ke sini, selain supaya mereka lebih mengenal seperti apa interior kapal selam, juga karena Mbahkung mereka adalah seorang pelaut yang pernah mengabdi di KRI Lambung Mangkurat. Seandainya kami pergi bersama mas Hadi, tentu beliau akan bercerita panjang lebar tentang Mbah Chodjin ini. Sayangnya, aku tak terlalu lama mengenal almarhum, hanya 2th saja, sebelum Allah memanggil untuk selamanya.


Cukup Rp 10.000,00 
Dengan merogoh kocek sebesar Rp 10.000,00 per orang, kami sudah dapat belajar mengenai kapal selam melalui seorang pemandu, ternyata ia mahasiswa semester 3 sebuah akademi pariwisata yang sedang magang.
Monkasel ini diresmikan tahun 1998 oleh Kepala Staf TNI AL, Laksamana Arief Kushariadi , sebagai bentuk penghormatan atas jasa kapal selam Pasopati yang telah menjadi salah satu al... andalan TNI AL saat itu.

Tidak seperti perkiraanku, ternyata interior di dalam kapal selam amatlah sempit. Konon para ABK (Anak Buah Kapal) golongan bintara dan tamtama yang bertugas di kapal selam, dipilih yang berpostur kecil ramping.


Tabung-tabung peluncur torpedo di haluan
Tabung peluncur di bagian buritan, dengan ukuran lebih kecil
Di bagian haluan terdapat 4 tabung peluncur torpedo sedang di bagian buritan, hanya ada 2 tabung peluncur torpedo dengan ukuran lebih kecil. Tak terbayangkan, bagaimana cara mereka memasukkan torpedo-torpedo itu, melalui sebuah lubang kecil di bagian atas kapal.

Kebayang tidur di tempat sempit sambil diayun gelombang...
Di sisi lain ruangan, terdapat empat buah tempat tidur gantung.  Seandainya aku yang tidur di sana, di dalam kapal selam dengan kondisi tempat tidur seperti itu, ah pasti aku akan terjatuh tak lama kemudian.


Hanya bisa dilalui yang berbadan mungil??

Kami berlanjut ke ruangan berikutnya. Ruang utama rupanya. Pintu penghubung antar ruangan, berupa pintu besi kedap air berbentuk lingkaran.
Banyak instrumen menarik berikut penjelasannya terpampang dan mudah dibaca. Pengunjungpun diperkenankan untuk mencoba. 


Kelihan...kelihatan... ;)
Tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Pia dan Haqi saling bertumpu untuk melihat pemandangan di jalan depan Monkasel melalui periskop yang walaupun sudah tidak dapat digerakkan ke kiri-kanan, atas ataupun bawah, ternyata masih berfungsi untuk melihat suasana di luar kapal.

Ruang Video Rama
Puas mempelajari intrerior kapal selam, kami menuju Ruang Vidio Rama yang terletak di belakang monumen. Di samping monumen rupanya ada sebuah kolam renang mini, cukup dengan biaya Rp 10.000,00 anak-anak dapat berenang di sana. Namun, tujuan kali ini bukan untuk berenang, jadi kami langsung menuju ke ruangan yang akan memutarkan sejarah TNI AL, terutama kisah tentang kapal-kapal perang yang pernah dioperasikan untuk menjaga lautan Indonesia nan luas. Sebagai negara maritim, kekuatan angkatan lautnya memang harus diperhatikan.


Kolam renang
Asyk juga rendevouz di sini ;)
Monkasel, terletak di pinggir Kali Mas nan bersih. Tak tampak sampah menyangkut di sana-sini, sebuah pemandangan yang patut dicontoh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Pemandangan sangat berbeda bisa dilihat pada kembarannya Kali Mas, yaitu Kali Porong, yang selain dipenuhi sampah, juga mengalami proses sedimentasi, akibat lumpur Lapindo yang tak berhenti menyembur, entah sampai kapan.


Kemudi dan baling-baling di bagian buritan 
Tak butuh waktu lama untuk menjelahi  Monkasel, hari semakin siang dan cacing-cacing di perut kembali berkonser menunggu jatahnya. Akhirnya kuputuskan ngadem sebentar di sebuah mal yang tepat berada di samping parkiran Monkasel. Mal Surabaya, tak terlalu luas, hanya tiga lantai. Setelah sempat membeli tiga buku obralan, kami menuju sebuah warung makan yang menghidangkan makanan khas Surabaya. Aku memesan seporsi rujak cingur, lengkap dengan kerupuk kampungnya. Sedang anak-anak lebih memilih makan gado-gado lontong. Alhamdulillah akhirnya impianku mencicipi makanan berbumbu petis di kota asalnya ini kesampaian juga. Cukup mahal harga yang harus kubayarkan untuk tiga porsi makanan dan tiga gelas es teh manis. Namanya juga makan di mal, ya itulah konsekwensinya, demi mendapatkan kenyamanan dan kebersihan.   
-------------------------
Setelah lelah berkeliling dua tempat wisata di kota Pahlawan ini, kami bersiap-siap menuju Sidoarjo, mengunjungi soulmateku semasa kuliah, Rina dan Indra. Batere hapeku telah mati total, akhirnya aku hanya mengandalkan secarik kertas bertuliskan alamat mereka. Bermodalkan tanya sana-sini serta berganti tiga kali naik angkot, akhirnya kami diantarkan oleh sebuah line langsung ke rumah Rina-Indra, yang terletak di pinggir tol Surabaya-Sidoarjo. Kupikir, daripada aku naik taxi, yang kemungkinan juga akan diajak berputar-putar dan nyasar, lebih baik aku naik line saja. Supirnya baik hati, bersedia mengantarku hingga tujuan, dengan modal menelpon beberapa temannya yang tahu wilayah tempat tinggal Rina-Indra.

Kedatangan kami disambut kehebohan. Indra tak menyangka bahwa line yang berhenti tepat di gerbang rumahnya adalah aku. Kami disuguhi mie ayam dengan porsi besar. Sayangnya, kondisi perut yang masih terisi, serta agak masuk angin akibat perjalanan panjang sebelumnya, membuat selera makanku berkurang. Maapkan diriku ya, kawan...

Puas bernostalgia menjalin tali silaturahmi dengan sang soulmate yang putra bungsunya memilih untuk masuk pesantren ini, menjelang magrib akupun pamit pulang. Indra mengantarkan kami hingga terminal bus Purabaya. Aku sengaja memilih naik bus AC jurusan Surabaya-Malang, supaya cepat sampai, dengan resiko tarif lebih mahal Rp 25.000,00 per orang. Padahal sewaktu berangkat tadi pagi, aku hanya perlu mengeluarkan uang Rp 27.000,00 bertiga untuk bus ekonomi AC yang kami naiki. Badanku terlalu lelah dan kakiku rasanya sulit untuk diajak jalan jauh kembali.

Alhamdulillah, tepat jam setengah tujuh malam, kami tiba dengan selamat di Rumah Palang. Pengalaman jalan-jalan yang tak terlupakan. Pertama, karena aku belum pernah berkeliling Surabaya dengan kendaraan umum, kedua.. ya karena aku nekad berangkat sendiri bersama Haqi dan Pia, padahal aku tidak terlalu familiar dengan kota Surabaya. 

Terakhir ke sana tiga tahun yang lalu, saat kami bersilaturahim ke Rina-Indra, terus lanjut menyeberang ke Pulau Madura. Kala itu, kami sempat tersesat mencari jalan menuju Jembatan Suramadu yang terkenal itu. Beberapa kali memutari jalan yang sama, hanya karena terlalu percaya pada GPS. Sejak saat itu, serta setelah mendengar keluhan dari beberapa orang yang nyasar gara-gara mengandalkan teknologi satelit, akhirnya kuputuskan lebih baik banyak bertanya, daripada sesat di jalan!!!
 -------------------------


RaDal, 040915 (17’56)

*destinasi sebelumnya
*dari monkasel, lanjut ke mari dah


#turiskere
#ngebolang
#backpacker
#familybackpacker
#monkasel
#museumkapalselam
#wisatakemonkasel

#destinasidikotasurabaya

1 komentar:

gina hendro mengatakan...

makasih uni Betty... btw, yg keren monkasel'nya kaan? bukan foto palagi orangnya? :D

Posting Komentar